Jumat, 18 Juli 2014

Kisah akhir tahun, nostalgia indah sebagai sepenggal kisah



Saat itu…

Malam pergantian tahun, malam pamungkas tahun itu…

Sepanjang hari dilalui dengan cukup “dingin” dan “basah”. Kenapa ? karena pagi itu meskipun cahaya terang berkilauan di langit, namun saat matahari berada di titik tertinggi justru tertutup oleh awan gelap yang saling bergandengan berusaha menutupi pancaranya. Sejenak aku yang memang terbaring atau duduk atau berjalan di kamar sementaraku, sedikit gelisah menatap atap bumi itu. Ada juga kegelisahan lain bahwa aku harus menghadapi sebuah ujian setelah siang terlewat.

Benar..
Hujan deras menyirami kota itu, dan aku bagaikan tetesan buih bergumul bersama tetesan air yang turun mengeroyokku. Aku yang beranjak bersama kawan, harus terpisah dalam perjalanan karena memang beda rute dan skill. Setelah air-air dingin itu menyapukku dlam waktu yang lumayan lama, barulah aku sampai ke tujuanku. Tempat ujian itu.

Masuk dengan kondisi bagai kucing yang baru mandi, hanya senyum senjataku untuk mencairkan ruangan yang isinya menatapkan mata padaku yang baru datang. Bahkan sepertinya meja pun juga menatapku dengan lekat. Celotehan kawan berusaha mencandaiku, membahas keterlambatanku meskipun semuanya terasa khidmat. Tunggu,, aku merasakan sesuatu yang “hangat” di ruang ujian ini. Tentunya jauh lebih hangat dari angan ku yang sedikit beku tadi.

Suasana sebelum ujian atau bahkan ujian berlangsung cair, lebih cair dari tetesan hujan tadi yang bergelimang diatas mantelku. Meskipun hari itu adalah ujian, namun itu adalah momen terakhir yang resmi berkumpul bersama para rekan-rekanku. Singkat cerita, waktu terus berjalan menuju ke maghrib, dan saat itu tiba. Ujian selesai, kata-kata penutup selesai, petualangan 1 bulan di tempat itu selesai, namun persahabatan ini baru akan mulai diperkuat.

Hmmm.. rasa lapar memang bisa mengundang persahabatan menjadi lebih erat. Berkumpul, berkendara, dan menunggu pelayan datang untuk sekedar memilih menu merupakan momen-momen jarang yang syukurnya bisa kita lewati bersama. Makanan datang, dan dengan sukacita kami menikmatinya. Selesai itu kami mengabadikan hari itu sebagai hari pertama dan terakhir berkumpul bersama. Yahh,, kami ga bisa bilang formasi kita lengkap, setidaknya lebih baik daripada cuma sendiri. Dan sejak itu aku jadi suka tempat makan yang kami datangi hari itu.

Akhirnya, waktu jualah yang harus memisahkan kita. Rencana menikmati tahun baru bersama pun tak bisa karena banyaknya agenda. Maklumlah mereka anak-anak gaul, dan aku hanyalah anak kecil yang mencoba untuk gaul. Sedih berpisah dengan mereka yang hampir sebulan ini menunjukan banyak hal yang bisa dikagumi, dicontoh, atau ditertawakan. Tapi bangga juga kenal dengan mereka.

Sepulang dari makan bersama untuk kembali ke kamar sementara, terdengar bunyi petasan, terompet atau sekedar klakson dari orang yang mungkin tidak berniat merayakan tahun baru, tapi merayakan kemacetan. Kemacetan membuat pesta sendiri bagi mereka, dan aku jadi korban pestanya. Aku menyusuri jalan-jalan peralihan yang diarahkan bapak polisi, sampai tak terduga malah aku sampai di tempat terbuka nan legendaris dekat kamar sementaraku. Menyusuri jalan dengan kecepatan kurang dari 30 km per jam, menjada agar roda ini tidak jail melindas kaki-kaki yang sedang berpose menanti jam dua belas malam.

Sampai di kamar, undangan perayaan langsung saja datang dari teman yang nampaknya sedang kelaparan sambil menunggu ganti tahun. aku pun keluar lagi ke jalanan kota itu, sambil beli obat untuk mengobati perutku yang tampaknya tidak se bahagia perayaan perpisahanku tadi. Nampanya sambalnya pedas ekstrim hehe. Kembali ke temanku yang kelaparan, dia memesan burung dara goring. Wahh bagiku itu tidak lazim sama seperti setidaklazimnya diriku merayakan tahun baru. Tanpa sadar malam itu sampai ke puncak acara. Jam 00.00 tertera di setiap jam yang ada di tiap orang di kota itu. Ledakan pertama dari si firework langsung membuat semua kaki berlari kearah pelaku penembaknya, berharap cahaya kejayaan tahun depan akan mendera di langit mereka dan di hidup mereka. Susul menyusul dentuman dan cahaya warna-warni menghias jalan itu. Jalan yang biasanya padat oleh kendaraan, kemudian ditutup untuk mengakomodasi kaki-kaki dari manusia penuh gairah, yang datang mungki dari luar kota hanya untuk menikmati puncak malam. Sedangkan aku ? yang 3 bulan berdiam di kota itu, berusaha mati-matian merekam suasana saat itu dengan gadget yang mungkin kembang api itu malah tidak jadi meledak bahkan tertawa melihat alat perekamku. Tapi tak masalah, paling tidak ada kenangan dari suaranya.

Bagaimana dengan temanku ? dengan burung daranya dia mencoba menikmati semuanya. Detik itu, mungkin menjadi salah satu saat terbaik dirinya, aku juga. Hari itu tak akan aku hapus dari hidupku. Hari-hari yang tak terpikirkan olehku, karena aku hanya memikirkan awan hitam saja setiap harinya, tanpa memikirkan cahaya di kegelapan malam. 

Hari ini,, aku merindukan saat itu. Merindukan teman-temanku. Merindukan kembang api itu. Merindukan kota itu. Iya itu…


Yogyakarta, 31 desember 2013.
I miss everything.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar