Saat itu…
Malam pergantian tahun, malam pamungkas tahun itu…
Sepanjang hari dilalui dengan cukup “dingin” dan “basah”.
Kenapa ? karena pagi itu meskipun cahaya terang berkilauan di langit, namun
saat matahari berada di titik tertinggi justru tertutup oleh awan gelap yang
saling bergandengan berusaha menutupi pancaranya. Sejenak aku yang memang
terbaring atau duduk atau berjalan di kamar sementaraku, sedikit gelisah
menatap atap bumi itu. Ada juga kegelisahan lain bahwa aku harus menghadapi
sebuah ujian setelah siang terlewat.
Benar..
Hujan deras menyirami kota itu, dan aku bagaikan tetesan
buih bergumul bersama tetesan air yang turun mengeroyokku. Aku yang beranjak
bersama kawan, harus terpisah dalam perjalanan karena memang beda rute dan
skill. Setelah air-air dingin itu menyapukku dlam waktu yang lumayan lama,
barulah aku sampai ke tujuanku. Tempat ujian itu.
Masuk dengan kondisi bagai kucing yang baru mandi, hanya
senyum senjataku untuk mencairkan ruangan yang isinya menatapkan mata padaku
yang baru datang. Bahkan sepertinya meja pun juga menatapku dengan lekat.
Celotehan kawan berusaha mencandaiku, membahas keterlambatanku meskipun
semuanya terasa khidmat. Tunggu,, aku merasakan sesuatu yang “hangat” di ruang
ujian ini. Tentunya jauh lebih hangat dari angan ku yang sedikit beku tadi.
Suasana sebelum ujian atau bahkan ujian berlangsung cair,
lebih cair dari tetesan hujan tadi yang bergelimang diatas mantelku. Meskipun hari
itu adalah ujian, namun itu adalah momen terakhir yang resmi berkumpul bersama
para rekan-rekanku. Singkat cerita, waktu terus berjalan menuju ke maghrib, dan
saat itu tiba. Ujian selesai, kata-kata penutup selesai, petualangan 1 bulan di
tempat itu selesai, namun persahabatan ini baru akan mulai diperkuat.
Hmmm.. rasa lapar memang bisa mengundang persahabatan
menjadi lebih erat. Berkumpul, berkendara, dan menunggu pelayan datang untuk
sekedar memilih menu merupakan momen-momen jarang yang syukurnya bisa kita lewati
bersama. Makanan datang, dan dengan sukacita kami menikmatinya. Selesai itu
kami mengabadikan hari itu sebagai hari pertama dan terakhir berkumpul bersama.
Yahh,, kami ga bisa bilang formasi kita lengkap, setidaknya lebih baik daripada
cuma sendiri. Dan sejak itu aku jadi suka tempat makan yang kami datangi hari
itu.
Akhirnya, waktu jualah yang harus memisahkan kita. Rencana menikmati
tahun baru bersama pun tak bisa karena banyaknya agenda. Maklumlah mereka
anak-anak gaul, dan aku hanyalah anak kecil yang mencoba untuk gaul. Sedih
berpisah dengan mereka yang hampir sebulan ini menunjukan banyak hal yang bisa
dikagumi, dicontoh, atau ditertawakan. Tapi bangga juga kenal dengan mereka.
Sepulang dari makan bersama untuk kembali ke kamar
sementara, terdengar bunyi petasan, terompet atau sekedar klakson dari orang
yang mungkin tidak berniat merayakan tahun baru, tapi merayakan kemacetan. Kemacetan
membuat pesta sendiri bagi mereka, dan aku jadi korban pestanya. Aku menyusuri
jalan-jalan peralihan yang diarahkan bapak polisi, sampai tak terduga malah aku
sampai di tempat terbuka nan legendaris dekat kamar sementaraku. Menyusuri jalan
dengan kecepatan kurang dari 30 km per jam, menjada agar roda ini tidak jail
melindas kaki-kaki yang sedang berpose menanti jam dua belas malam.
Sampai di kamar, undangan perayaan langsung saja datang dari
teman yang nampaknya sedang kelaparan sambil menunggu ganti tahun. aku pun keluar
lagi ke jalanan kota itu, sambil beli obat untuk mengobati perutku yang
tampaknya tidak se bahagia perayaan perpisahanku tadi. Nampanya sambalnya pedas
ekstrim hehe. Kembali ke temanku yang kelaparan, dia memesan burung dara goring.
Wahh bagiku itu tidak lazim sama seperti setidaklazimnya diriku merayakan tahun
baru. Tanpa sadar malam itu sampai ke puncak acara. Jam 00.00 tertera di setiap
jam yang ada di tiap orang di kota itu. Ledakan pertama dari si firework
langsung membuat semua kaki berlari kearah pelaku penembaknya, berharap cahaya
kejayaan tahun depan akan mendera di langit mereka dan di hidup mereka. Susul menyusul
dentuman dan cahaya warna-warni menghias jalan itu. Jalan yang biasanya padat
oleh kendaraan, kemudian ditutup untuk mengakomodasi kaki-kaki dari manusia
penuh gairah, yang datang mungki dari luar kota hanya untuk menikmati puncak
malam. Sedangkan aku ? yang 3 bulan berdiam di kota itu, berusaha mati-matian
merekam suasana saat itu dengan gadget yang mungkin kembang api itu malah tidak
jadi meledak bahkan tertawa melihat alat perekamku. Tapi tak masalah, paling
tidak ada kenangan dari suaranya.
Bagaimana dengan temanku ? dengan burung daranya dia mencoba
menikmati semuanya. Detik itu, mungkin menjadi salah satu saat terbaik dirinya,
aku juga. Hari itu tak akan aku hapus dari hidupku. Hari-hari yang tak
terpikirkan olehku, karena aku hanya memikirkan awan hitam saja setiap harinya,
tanpa memikirkan cahaya di kegelapan malam.
Hari ini,, aku merindukan saat itu. Merindukan
teman-temanku. Merindukan kembang api itu. Merindukan kota itu. Iya itu…
Yogyakarta, 31 desember 2013.
I miss everything.